![]() |
sumber gambar: dailysocial.id |
Adzan
Ashar berkumandang diiringin udara dingin yang menusuk permukaan kulitku.
Tersadar aku sudah cukup lama memandangi simbol organisasi, yang menjadi
tempatku bernaung hingga saat ini. Sekilas simbol itu memiliki atributif yang sangat-sangat
aku pahami dalam egoisme pribadi. Berkontraksilah saat itu juga rasioku untuk mengingat dengan keras, siapa saja
pejabat yang ada didalamnya?
Terngiang kata-kata ibnu khaldun
memandu rekontruksi pemikiranku saat itu, bahwasanya. Suatu suku atau kelompok
masyarakat dapat membentuk dan memelihara negara apabila memiliki kultural
sosial-politik tertentu, yang oleh Ibnu Khaldun disebut Ashabah. Kultural
sosial-politik tersebut menurutnya hanya berada pada kerangka kebudayaan suatu
desa.
Ashabiyah/Ashabah akan menjadi
kekuatan penggerak negara, dan merupakan landasan berdirinya negara. Jikalau
ashabiyah melemah dengan beriringan budaya kota yang menggerus Ashabiyah,
dengan itu juga melemahnya suatu negara. Teori yang dikemukakan Khaldun itu kemudian
dikenal orang sebagai “Teori Disintegrasi” (ancaman perpecahan suatu
masyarakat/bangsa)
Tahun 2010 saya mengikuti organisasi
Pecinta Alam, saya masih ingat betul ketika pendidikan saya harus belajar
memahami organisasi. Dimana saya harus belajar tentang pemikiran para pendiri
organisasi, belajar dari pemimpin-pemipin terdahulu, belajar tentang arah
organisasi dan terus memahaminya. Disitu saya baru sadar, kenapa saya dahulu
harus menghapal mars, hyme secara betul-betul. Ternyata mereka ingin menancapkan
kultural yang dapat mengikat para anggota menjadi kokoh.
Kulutural organisasi yang saya
terima adalah “siap memimpin, dan rela dipimpin”. Lalu saya jabarkan dengan
pengalaman saya di organisasi tersebut, tentunya pemimpin tidak bisa tegak
tanpa adanya bantuan para anggota. Pemimimpin harus khidmat kepada organisasi,
diharuskan ada kebulatan niat yang ikhlas, dan berkewajjiban menunda kehendak
dan mendahulukan kewajiban.
Mengapa saudara memimpin?
Saudara terpilih
menjadi pemimpin karena ada “sangka baik” dari seluruh anggota kepada anda.
Dimana saudara mendapat sangka baik dar anggota, saudara harus mengikuti sangka
baik para anggota. Sangka baik tersebut berupa saudara dapat dipercaya, dapat
mewakafkan diri kepada organisasi. Jadi, tega jikalau saudara menjadikan
organisasi lumbung padi hawa nafsu saudara.
Samakah pemimpin dan anggota?
Walaupun saudara
adalah pemimpin organisasi, saudara tetaplah anggota didalam organisasi. Tidak
berarti membebaskan kehendak saudara untuk berlaku semuanya dalam organisasi.
Tapi sebaliknya kenapa saudara menjadi pemimpin di dalam oranisasi, anda
dibatasi oleh garis tegak lurus simbol organisasi. Ringkasnya baik pemimpin
maupun anggota organisasi wajib taat dan khidmat kepada organisasi tersebut.
Nasehat dari senior saya dalam hidup
berorganisasi adalah jangan merasa mulia karena menjadi pemimpin, dan jangan
merasa terhina jika berada dibelakang. Maka kemulian tidak diukur dari depan
dan belakang, sejatinya depan dan belakang hanya masalah pembeda pertanggungjawaban.
Maka ukuran kemulian dilihat dan dinilai sesuai bakti dan khidmatnya dia selama
di organisasi.
Pemimpin mana yang kita pilih?
Pemimpin yang mau siap
tempur dan siap juga babak belur, ketika dia berada di belakang dan juga ketika
dia berada di depan tentunya. Cari pemimpin yang low profile dimana dia tidak
mencari popularitas, bekerja di tengah malam tanpa sepengetahuan anggota,
berdiri tegak menuntaskan kewajiban organisasi walaupun caci maki dari dalam
maupun luar. Itulah kebudayaan organisasi yang harus kita resapi kembali, dan
mulai intropeksi guna bergeraknya organisasi menuju kebaikan yang sejati (Agi Rahman Faruq)
0 Comments