Elda ‘culangung’ Dwi. P
Mahasiswa Pecinta Alam Civics Hukum
Alam tidak pernah habis dengan dengan cerita-cerita
menakjubkannya. Rupanya Tuhan memang sengaja menghadirkannya
untuk menuai banyak tanya, yang tidak bisa dijawab dengan satu
pemerenungan saja. Alam dapat menjadi sahabat terindah bagi setiap
insan yang mau bersahabat dengannya, pun dapat menjadi bumerang
bagi siapa pun yang memilih untuk ingkar dan merusaknya. Begitulah
Tuhan hadirkan kuasanya, untuk menjadi pembelajaran bahwa apa
yang manusia tanam itulah yang ia tuai. Alam mengajarkan bagiamana
simbiosis mutualisme itu berlaku, bagaimana kemanusian itu diuji, dan
tentang sebuah fitrah manusia untuk mensyukuri segala nikmat yang
dihadirkan oleh Penciptanya.
Menikmati alam bagi sebagian besar orang adalah candu, namun
bukan hal yang tabu jika indahnya menikmati tidak diiringi dengan rasa
emapti. Tidak jarang si pemberi nikmat memberi jawaban lewat
bencana-bencana yang menyayat hati, nyatanya itu adalah teguran agar
si penikmat dapat menikmati tanpa melukai.
Manusia sebagai makhluk
penikmat alam terbesar sepantasnya menyatu tanpa mengganggu, serta
merawat tanpa merusak. Seperti lebah dan bunga, ia saling memberi
kebermanfaatan, bunga memberikan nektar sebagai penghidupan bagi
lebah, pun lebah membantu penyerbukan bunga. Tuhan memberikan
banyak perumpamaan, lagi dan lagi untuk membuat manusia sadar
betapa pentingnya kemanusiaan, termasuk kemanusiaan pada alam.
Badan Nasioanal Penanggulanagan Bencana (BNPB) mencatat
sepanjang tahun 2019 saja terhitung 3.721 bencana alam yang
menghunjam bumi pertiwi. Setiap bencana datang silih berganti dan
tidak bisa ditawar lagi, tidak adil rasanya jika manusia menjerit penuh
keluh dan lagi-lagi mengkambinghitamkan alam. Alam tidak jahat, ia
hanya memberi jawaban atas keserakahan manusia terhadap kekayaan
alam di bumi, yang membuat tanah, terumbu karang, hingga lapisan
ozon ternodai. Selepas itu, alam hanya ingin penghuninya yang berakal
sadar untuk tidak lagi melukai, bukan saling menyalahkan dan beradu
argumentasi dengan penuh retorika, namun miskin aksi.
Sejak masa purbakala, alam sudah berdampingan dengan
manusia, ia adalah sumber kehidupan yang nyata. Jauh sebelum
teknologi ditemukan manusia sudah berdampingan dengan alam.
Manusia bahu-membahu mencari penghidupan dari alam, hingga
terbangun suatu peradaban. Saat ini zaman memang berkembang
dengan pesatnya, banyak teknologi-teknolgi mutakhir ditemukan,
membuat manuisa dengan segala ambisinya menghalalkan segala cara
untuk mengeksploitasi alam. Penebangan liar semakin merebak, lahan
hijau mulai digusur, bahkan manusia seperti tanpa dosa mengotori
dengan sampah yang dianggapnya tak seberapa, belum lagi limbah
yang dibuang seenaknya. Manusia tidak boleh membiarkan alam
bersabar lebih lama menahan luka, sebelum ia benar-benar memberi
tegeuran yang lebih nyata.
Kepedulian manusia pada alam mencerminkan kepedulian ia
pada sesamanya.
Humanisme tertinggi pada manusia adalah saat ia
merasakan simpati dan empati tanpa mengharap balas budi. Alam
membentuk manusia untuk menjadi insan yang menghargai, mencintai,
melindungi, dan tulus mengasihi. Ketika manusia mampu menghargai
keberadaan alamnya, barang tentu ia akan menghargai keberadaan
sesamanya Begitupun ketika ia mencintai, melindungi, serta tulus
memilki pada alamnya, ia akan tulus mencintai, melindungi, serta
mengasihi orang-orang di sekitarnya. Itulah kemanusiaan yang
sesungguhnya. Alam yang menghadirkan banyak kenikmatan ini
sedang haus akan sentuhan tulus dari para penikmatnya, jangan biarkan
ia luka terlalu lama, hingga kabur nikmatnya. Keberadaannya seperti
orang-orang yang menghadirkan banyak cinta di sekitar kita, sebuah
titipan yang harus dirawat dengan akal dan nurani. Oleh karena itu, mari
menikmati tanpa melukai, untuk alam dan kemanusiaan.
0 Comments