Kata Masyarakat tentang Kami




Karya Yolanda Elisabet “Yoman” Regunita Tambunan
Mahasiswa Pecinta Alam Civic Hukum
            Mahasiswa pecinta alam sering dianggap sebagai salah satu komunitas penantang maut. Bukannya perihal maut itu Tuhan yang menentukan? Mengapa masyarakat begitu sibuk mengomentari tentang ini? Mengapa mereka seolah-olah mengetahui kapan maut itu akan datang? Bagaimana mereka mendapatkan sebuah informasi tentang kematian seseorang? Menurut saya pendapat ini terlalu kejam. Tentang kematian dan maut bukan kapasitas seorang manusia untuk memikirkannya. Tetapi itu kehendak Tuhan.
            Dalam bidang akademik, kami sering dianggap lambat dalam menyelesaikan perkuliahan. Apa pendapat mereka ingin merujuk bahwa mahasiswa pecinta alam itu pemalas? Atau pendapat mereka ingin mengatakan bahwa kita ini tidak memikirkan akademik? Setiap mahasiswa tentunya ingin segera lulus sarjana. Mahasiswa pun ingin yang namanya bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Begitu juga dengan mahasiswa pecinta alam. Dunia kampus itu kejam dan lebih kejam lagi dunia kerja.
            Anggota dari mahasiswa pecinta alam dianggap memiliki penampilan yang urakan dan berantakan. Wah, sepertinya stigma ini lagi-lagi sangat aneh dan kaku sekali. Setiap orang memiliki gayanya masing-masing. Masyarakat tidak bisa menyemaratakan suatu hal. Dan ingat pula jangan pernah melihat orang dari luarnya saja. Tapi lihat isinya dan hatinya. Setiap orang ditakdirkan menjadi baik oleh Tuhan. Rambut gondrong, celana bolong-bolong, topi rimba ataupun yang lainnya tidak bisa menjadi sebuah patokan keburukan seseorang.
            Bahkan banyak yang mengatakan bahwa mahasiswa pecinta alam ini jorok dan jarang mandi. Eitsss, kita juga manusia. Butuh yang namanya mandi. Masa iya kami tidak mandi. Kegantengan dan kecantikan kami nanti tertutup dong hehe. Bahkan para ahli juga menyarankan manusia untuk mandi. Stigma yang sangat aneh dan kaku sekali.
            Mahasiswa pecinta alam juga dipandang sebagai komunitas yang banyak sekali mengeluarkan uang. Katanya pergi kegunung tidak ada gunanya, habis-habiskan uang saja. Mohon maaf sekali, alam mengajarkan kami untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sebelum melakukan pendakian yang jauh tentunya sudah melalui banyak perencanaan. Termasuk perencanaan keuangan perjalanan. Rasanya sangat tidak etis juga kami pergi menggunakan uang orangtua. Kita sudah sama-sama dewasa. Hal seperti ini bukan untuk diperdebatkan.
            Mahasiswa pecinta alam lagi-lagi dipandang sebagai komunitas yang kegiatannya hanya naik gunung saja. Stigma ini sungguh salah besar. Bukan tentang naik gunung saja, tetapi pada kemanusiaan. Kegiatannya bukan hanya naik gunung, susur pantai, ataupun yang lainnya. Mahasiswa pecinta alam juga melakukan kegiatan-kegiatan dengan tujuan kemanusiaan. Kita tahu bahwa alam ini sudah sering disakiti oleh manusia. Nah, dengan adanya mahasiswa pecinta alam setidaknya ada sebagian manusia yang masih mencintai alam. Mencintai alam itu bukan hanya mencintai alamnya saja. Namun mencintai manusia dan juga Sang Pencipta.
            Saya pikir masih banyak stigma-stigma negatif yang berkembang dimasyarakat tentang kami mahasiswa pecinta alam. Pandangan saya ini, kiranya bisa sedikit-sedikit menepis pemikiran-pemikiran “kuno” dari masyarakat. Kami ada bukan untuk hura-hura, tidak untuk menghabiskan uang orangtua, ataupun alasan lainnya. Kami disini hadir untuk mencintai alam, mencintai sesama, dan tentunya mencintai Sang Pencipta.

Salam Lestari!
Jangan lagi alam disakiti!
           


Post a Comment

0 Comments