BENCANA: Musibah dan Momentum Muhasabah

 

Oleh Elda "Culangung" Dwi  Pratiwi

Sumber: Jom Dakwah

            Akhir-akhir ini bencana demi bencana datang siliih berganti, menghujami bumi ini. Belum usai wabah pandemi yang menimpa seantero dunia, lalu muncul bencana-bencana baru tanpa mengaba. Semua itu memberi duka dan mengabarkan dunia sedang tidak baik-baik saja. Di awal tahun ini saja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanya 227 bencana terjadi sepanjang 1 hingga 27 Januari 2021.

Muncul berbagai respond dari makhluk berakal bernama manusia atas apa yang menimpa tempat berpijak ini. Ada keluh, pilu, duka yang teramat dalam, simpati, empati hingga hasrat intelektual yang memunculkan banyak asumsi mengapa bencana ini terjadi.

Banjir, misalnya. Banyak para ahli mengatakan ini terjadi karena curah hujan yang tinggi dan berlangsung terus-menerus. Apa pernyataan itu salah? Tentu Tidak! Memang betul curah hujan sedang tinggi dan berlangsung terus-menerus di beberapa daerah. Namun apa itu saja penyebabnya? Tidak! Alam telah diciptakan dengan keseimbangan. Tuhan turunkan hujan pada alam, lau tuhan juga ciptakan hutan dan tanaman sebagai penyangganya. Air itu memberikan penghidupan bagi mereka dan pada akhirnya manusia juga yang menikmati kesuburannya. Adilkah bila manusia selalu menjadikan alam sebagai kambing hitam?

Mari kita sedikit tenggelam dalam pemerenungan, disertai akal sehat pula tentunya.  Secara teori memang betul, Indonesia sendiri merupakan wilayah yang rawan bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik yakni, lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan lempeng Pasifk. Namun, itu semua merupakan hukum alam yang lahir bukan tanpa sebab. Tuhan sebagai pusat segala kehidupan menciptakan apapun yang nampak maupun yang tak nampak dengan karunia-Nya untuk kebaikan umat manusia itu sendiri. Salah satu hikmah dari posisi wilayah yang demikian yakni kesuburan wilayah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan.

Namun, ada tangan-tangan dan ketamakan manusia itu sendiri yang tidak jarang menghancurkan sumber-sumber penghidupan. Berapa banyak hutan yang sudah dikorbankan untuk sebuah kepentingan tanpa menimbang-nimbang kemaslahatan? Berapa jumlah binatang-binatang penghuni alam itu yang hak-haknya diberangung dan pupus? Sudah tidak terhitung bukan? Padahal sekali lagi Tuhan telah hadirkan segala sesatu dengan keseimbangan untuk sebuah kemaslahatan.

Lalu sebagai manusia yang bertuhan, tentu kita juga percaya akan adanya adzab, peringatan dan ujian bukan? Jika kita masih percaya itu mari bermuhasabah pula terhadap apa yang telah dan sedang kita perbuat di bumi yang kita pijak, menyoal apa yang terjadi akhir-akhir ini. Dari Abu Huarirah berkata:

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap rampasan, membayar zakat dianggap merugikan, belajar bukan karena agama, suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit-jerit) di masjid, orang fasik menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhlaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan music (hiburan yang berbau maksiat) banyak digemari, minuman keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi kam muslimin. Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa, longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi).” (HR. Trimidzi)

Apabila kita maknai hadis tersebut mencerminkan apa yang terjadi ditengah-tengah kita saat ini. Penguasa yang berbuat dzalim terhadap alam dan kemanusian, kemaksiatan yang semakin menjadi pemandangan diberbagai kalangan, ajaran agama yang tidak diindahkan, pun ulama yang banyak kehilangan integritasnya karena tertipu oleh kekuasaan. Maka, jangan salahkan alam yang menegur kita semua dengan bencana yang hadir tanpa bisa ditawar-tawar lagi.

Padahal, Indonesia sendiri sebagai negara yang semua warganya berketuhanan sejatinya mampu lebih humanis. Agama manapun mengajarkan umatnya untuk taat pada perintah Tuhan serta berhubungan baik dengan alam dan kemanusiaan.

“Dunia tipu-tipu?” Betul, kesenangan pada dunia terkadang menipu manusia hingga larut dalam kemaksiatan dan keserakahan dengan mengabaikan bagaimana seharusnya berpijak di alam yang hanya sekejap.

Pada akhirnya, atas apa yang menimpa kita saat ini muhasabah yakni intropkesi dan evaluasi diri menjadi suatu keniscayaan. Jika setiap bencana adalah ujian, mari kita berusaha untuk lulus menhadapi ujian ini dengan menaiki level diri menjadi pribadi yang lebih lagi. Menginsyafi pentingnya habluminallah (hubungan baik dengan Allah) habluminannas (hubungan baik dengan manusia) dan habluminalalam (hubungan baik dengan alam).

Jika setelah ujian ini berakhir dan kita tidak juga mau dan mampu memperbaiki diri, maka jangan salahkan bila esok alam menegur dengan cara yang lebih dahsyat. Bahkan barangkali semakin dekat dengan tiba saatnya gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan, matahari, rembulan, planet dihancurkan dan manusia seperti anai-anai yang beterbangan. Wallahualam Bussawab.

Tentu ini hanya sebuah pemerenungan mendalam, mencoba menjawab keresahan atas apa yang menjadi fenomena manusia dan alam sembari bercermin pada diri. Jelas, tidak ada kata ‘terlambat’ untuk memperbaiki diri atas apa yang telah diperbuat. Dan tidak ada kata ‘terlau dini’ untuk memulai hari ini dengan lebih baik lagi.*)))

Post a Comment

2 Comments