SOSIOLOGI PEDESAAN SEBAGAI UPAYA KONSERVASI LEWAT KESADARAN MASYARAKAT PEDESAAN

Oleh: Dimas “Kobra” Sahrul Hakim

 



Sumber: kegiatan mapach

            Homo homini lupus adalah pemikiran seorang filsuf politik terkemuka yaitu Thomas Hobbes yang berarti bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lain”. Hobbes mulai berpikir bahwa apa yang menggerakkan manusia adalah nafsunya. Nafsu yang paling kuat dalam diri manusia adalah nafsu untuk mempertahankan dirinya. Namun jika kita telusuri lebih jauh dan melihat realitas yang ada saat ini apakah kita masih setuju pada pendapat Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain atau kita lebih sepakat bahwa kini manusia bukan hanya sebagai serigala bagi manusia lain tapi juga serigala bagi alam.

Dilansir dari data Forest Watch Indonesia, selama tahun 2000 sampai 2017, tercatat Indonesia telah kehilangan hutan alam lebih dari 23 juta hektar atau setara dengan 75 kali luas provinsi Yogyakarta. Bahkan fakta yang tidak kalah menyenangkan bahwa Indonesia pada tahun 2019 menempati posisi ketiga sebagai negara yang paling banyak kehilangan  hutan-hutan akibat deforestasi sebanyak 324 ribu hektar. Hal ini tidak lepas dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang menjadi penyebab utama terjadinya deforestasi.

Melihat dari semakin parahnya kerusakan alam maka sudah menjadi tanggung jawab kita bersama dalam upaya pelestariannya, khususnya sebagai seorang pecinta alam yang mana hal ini juga tertuang dalam salah satu poin Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang menyatakan bahwa “Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya”. Dalam upaya pelestarian ini MAPACH sebagai salah satu organisasi pecinta alam yang berada dalam ruang lingkup perguruan tinggi yang mengimplementsikan Tri Dharma Perguruan Tinggi selain lewat kegiatan-kegiatan kepecinta alaman secara umum tetapi juga Sosiologi Pedesaan sebagai fokus dari MAPACH itu sendiri. Lalu apa itu sosiologi pedesaan? Dan bagaimana hubungannya dengan upaya konservasi alam?.

John Gillete, berpendapat bahwa sosiologi pedesaan adalah cabang sosiologi yang secara sistematik mempelajari komunitas–komunitas perdesaan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungannya dan merumuskan prinsip-prinsip kemajuan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sosiologi pedesaan dalam pandangan MAPACH yang menekankan pada hubungan emosional dengan masyarakat desa lewat sebuah kebermanfaatan. Kebermanfaatan ini tentunya bisa dalam berbagai aspek salah satunya ialah aspek konservasi yang mana sudah kita ketahui bersama bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang hidup dengan tingkat intensitas hubungan dengan alam yang tinggi bahkan tidak sedikit desa-desa yang menggantungkan hidupnya pada alam. Tentunya dengan melihat fakta diatas bahwa berbagai aspek terkait kepentingan masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhannya serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaannya.

Sosiologi pedesaan bisa dimaknai sebagai jembatan dalam pemberdayaan masyarakat desa dalam upaya upaya konservasi lewat peningkatan pemahaman serta kesadaran dalam menjaga kelestarian alam. Pemberdayaan disini bukan sekedar untuk menghentikan kerusakan kawasan, tetapi harus memperhatikan upaya pelestarian kawasan dalam aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pemberdayaan juga diarahkan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat yang mengarah pada kemauan dalam mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan untuk kesejahteraan.

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi sebetulnya telah dilakukan sejak tahun 1993 melalui pengembangan daerah penyangga namun belum berhasil secara optimal. Pendekatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan terbukti hanya menghasilkan perilaku sasaran yang apatis dan perubahan perilaku yang tidak permanen. Pemberdayaan dengan pendekatan kearah persuasif dan partisipatif diharapkan akan lebih efektif menghasilkan keberdayaan serta kemandirian.

Salah satu program yang sudah dikeluarkan pemerintah dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui Model Desa Konservasi (MDK). Model desa konservasi sendiri MDK   akan dijadikan model atau contoh bagi desa lain  di  kawasan  konservasi  dalam  memberdayakan masyarakatnya dengan memperhatikan aspek konservasi, ekonomi dan budaya masyarakat Model Desa Konservasi setempat.    Pembangunan    MDK    meliputi    tiga    kegiatan    pokok, yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah  perdesaan  berbasis  konservasi  dan  pengembangan ekonomi   pedesaan   berlandaskan   prinsip   konservasi.   Melalui   tiga   kegiatan   tersebut diharapkan kawasan konservasi lebih baik dan masyarakat setempat lebih sejahtera.  Saat ini, MDK telah dilaksanakan oleh 77 (tujuh puluh tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan baik oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Taman Nasional di kurang lebih 133 desa di dalam dan sekitar kawasan.

Akan tetapi Model Desa Konservasi ini dirasa belum efektif karena masih kurangnya pendidikan dan penyadaran bagi masyarakat desa itu sendiri. Maka disinilah peran pecinta alam khususnya MAPACH sebagai fasilitator dengan sosiologi pedesaan sebagai salah satu cara menemukan formulasi lewat tentunya dengan melalui pendekatan-pendekatan baik secara emosional maupun keilmuan. Pendekatan-pendekatan yang kita lakukan dalam sosiologi pedesaan ini tentunya sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana masyarakat disana memenuhi hajat hidupnya, cara bermasyarakatnya serta kondisi alamnya sehingga nantinya dapat kita temui formulasi terbaik untuk memaksimalkan Model Desa Konservasi ini agar terciptanya masyarakat desa yang memiliki tingkat kesadaran akan pentingnya keterlibatan mereka dalam upaya konservasi demi terciptanya keseimbangan ekologi, ekonomi serta sosial budaya.

            Tentunya upaya konservasi dengan sosiologi pedesaan sebagai jembatannya bisa lebih luas dari ini tergantung bagaimana kita sebagai insan manusia yang berketuhanan memaknainya. Bahwa sebuah kebermanfaatan tidak bisa dibatasi dengan teori-teori semata atau konsep memanusiakan-manusia, lebih dari itu.

Post a Comment

0 Comments