Oleh: Dimas “Kobra” Sahrul Hakim
Dilansir
dari data Forest Watch Indonesia,
selama tahun 2000 sampai 2017, tercatat Indonesia telah kehilangan hutan alam
lebih dari 23 juta hektar atau setara dengan 75 kali luas provinsi Yogyakarta.
Bahkan fakta yang tidak kalah menyenangkan bahwa Indonesia pada tahun 2019
menempati posisi ketiga sebagai negara yang paling banyak kehilangan hutan-hutan akibat deforestasi sebanyak 324
ribu hektar. Hal ini tidak lepas dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit yang menjadi penyebab utama terjadinya deforestasi.
Melihat
dari semakin parahnya kerusakan alam maka sudah menjadi tanggung jawab kita
bersama dalam upaya pelestariannya, khususnya sebagai seorang pecinta alam yang
mana hal ini juga tertuang dalam salah satu poin Kode Etik Pecinta Alam
Indonesia yang menyatakan bahwa “Memelihara alam beserta isinya serta
menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya”. Dalam upaya
pelestarian ini MAPACH sebagai salah satu organisasi pecinta alam yang berada
dalam ruang lingkup perguruan tinggi yang mengimplementsikan Tri Dharma
Perguruan Tinggi selain lewat kegiatan-kegiatan kepecinta alaman secara umum
tetapi juga Sosiologi Pedesaan sebagai fokus dari MAPACH itu sendiri. Lalu apa
itu sosiologi pedesaan? Dan bagaimana hubungannya dengan upaya konservasi alam?.
John
Gillete, berpendapat bahwa sosiologi pedesaan adalah cabang sosiologi yang
secara sistematik mempelajari komunitas–komunitas perdesaan untuk mengungkapkan
kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungannya dan merumuskan
prinsip-prinsip kemajuan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sosiologi pedesaan
dalam pandangan MAPACH yang menekankan pada hubungan emosional dengan
masyarakat desa lewat sebuah kebermanfaatan. Kebermanfaatan ini tentunya bisa
dalam berbagai aspek salah satunya ialah aspek konservasi yang mana sudah kita
ketahui bersama bahwa masyarakat desa adalah masyarakat yang hidup dengan
tingkat intensitas hubungan dengan alam yang tinggi bahkan tidak sedikit
desa-desa yang menggantungkan hidupnya pada alam. Tentunya dengan melihat fakta
diatas bahwa berbagai aspek terkait kepentingan masyarakat desa untuk memenuhi
kebutuhannya serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka tidak dapat
dipisahkan dalam pengelolaannya.
Sosiologi
pedesaan bisa dimaknai sebagai jembatan dalam pemberdayaan masyarakat desa
dalam upaya upaya konservasi lewat peningkatan pemahaman serta kesadaran dalam
menjaga kelestarian alam. Pemberdayaan disini bukan sekedar untuk menghentikan
kerusakan kawasan, tetapi harus memperhatikan upaya pelestarian kawasan dalam
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pemberdayaan juga diarahkan untuk
meningkatkan kemandirian masyarakat yang mengarah pada kemauan dalam
mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan untuk kesejahteraan.
Pemberdayaan
masyarakat di sekitar kawasan konservasi sebetulnya telah dilakukan sejak tahun
1993 melalui pengembangan daerah penyangga namun belum berhasil secara optimal.
Pendekatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan terbukti hanya menghasilkan
perilaku sasaran yang apatis dan perubahan perilaku yang tidak permanen. Pemberdayaan
dengan pendekatan kearah persuasif dan partisipatif diharapkan akan lebih
efektif menghasilkan keberdayaan serta kemandirian.
Salah
satu program yang sudah dikeluarkan pemerintah dalam meningkatkan pemberdayaan
masyarakat dilakukan melalui Model Desa Konservasi (MDK). Model desa konservasi
sendiri MDK akan dijadikan model atau
contoh bagi desa lain di kawasan
konservasi dalam memberdayakan masyarakatnya dengan
memperhatikan aspek konservasi, ekonomi dan budaya masyarakat Model Desa Konservasi
setempat. Pembangunan MDK
meliputi tiga kegiatan
pokok, yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah perdesaan
berbasis konservasi dan
pengembangan ekonomi
pedesaan berlandaskan prinsip
konservasi. Melalui tiga
kegiatan tersebut diharapkan
kawasan konservasi lebih baik dan masyarakat setempat lebih sejahtera. Saat ini, MDK telah dilaksanakan oleh 77
(tujuh puluh tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan baik oleh
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Taman Nasional di kurang lebih
133 desa di dalam dan sekitar kawasan.
Akan
tetapi Model Desa Konservasi ini dirasa belum efektif karena masih kurangnya pendidikan
dan penyadaran bagi masyarakat desa itu sendiri. Maka disinilah peran pecinta
alam khususnya MAPACH sebagai fasilitator dengan sosiologi pedesaan sebagai
salah satu cara menemukan formulasi lewat tentunya dengan melalui
pendekatan-pendekatan baik secara emosional maupun keilmuan.
Pendekatan-pendekatan yang kita lakukan dalam sosiologi pedesaan ini tentunya
sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana masyarakat disana memenuhi hajat
hidupnya, cara bermasyarakatnya serta kondisi alamnya sehingga nantinya dapat
kita temui formulasi terbaik untuk memaksimalkan Model Desa Konservasi ini agar
terciptanya masyarakat desa yang memiliki tingkat kesadaran akan pentingnya
keterlibatan mereka dalam upaya konservasi demi terciptanya keseimbangan
ekologi, ekonomi serta sosial budaya.
Tentunya upaya konservasi dengan sosiologi pedesaan
sebagai jembatannya bisa lebih luas dari ini tergantung bagaimana kita sebagai
insan manusia yang berketuhanan memaknainya. Bahwa sebuah kebermanfaatan tidak
bisa dibatasi dengan teori-teori semata atau konsep memanusiakan-manusia, lebih
dari itu.
0 Comments