Alam raya dan
isinya adalah sebuah ekosistem yang integral dan tidak lepas satu sama lain,
termasuk kita, manusia sebagai makhluk yang bertempat tinggal dan bernaung di
bawah keagungannya. Alam menjadi suatu hal yang sulit untuk diterka. Oleh
karena itu, berkegiatan di alam raya menjadi suatu hal yang penuh tantangan dan
menguras fisik serta tenaga (Mahadewi, 2019). Maka tak mengherankan, apabila
kegiatan kealaman, khususnya pecinta alam kerap diidentikan sebagai suatu
aktivitas yang maskulin dan lekat dengan seorang laki-laki.
Namun pertanyaannya, apakah kegiatan kealaman dan pecinta alam hanya miliki kaum lelaki saja? Tentu tidak. Dewasa ini, ada banyak sekali Wanita yang menjadi seorang pecinta alam. Pada tahun 2022 sendiri, MAPACH memiliki 28 anggota wnita di dalamnya yang terdiri dari 16 anggota Wanita dari Brigade 35, 9 anggota Wanita dari Brigade 36 dan 3 anggota Wanita dari Brigade 37. Eksistensi Wanita pecinta alam. Eksistensi pecinta alam Wanita tentunya tidak terlepas dari segala macam stereotype yang ada di masyarakat. Pecinta alam Wanita kerap dilabeli sebagai individu yang macho, maskulin, tomboy, kurang dapat merawat diri dan lain sebagainya. Selain itu, masih banyaknya stereotipe yang dilayangkan pada organisasi pecinta alam seperti penuh dengan kekerasan, hanya naik turun gunung saja kegiatannya, dan lain sebagainya. Setyani (2020) dalam skripsinya mengungkapkan bahwa masih terdapat gender stereotype terhadap pendaki perempuan, seperti sulit diatur dan dikontrol, mudah mengeluh, lamban, dan lain sebagainya. Berbagai stereotipe tersebut tentu menjadi suatu tantangan tersendiri bagi eksistensi pecinta alam Wanita.
Semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam kegiatan kepecintaalaman menjadi suatu wujud nyata bahwa kegiatan kepecintaalaman adalah milik siapa saja yang memiliki keinginan dan ketertarikan pada alam. Kepecintaalaman bukanlah suatu hal yang identic dengan gender. Kegiatan kepecintaalaman menjadi aktivitas yang bisa diikuti dan dinikmati oleh siapapun yang memiliki concern pada bidang kealaman, minat, hobi, ketertarikan, kesungguhan dan keteguhan hati serta jiwa untuk terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu, penting kiranya bagi kita, untuk menyadari bahwa gender stereotype bagi pecinta alam Wanita adalah sebuah hal yang patut untuk dipatahkan. Hal ini menjadi suatu tugas Bersama bagi kita semua. Bagi Wanita yang berkecimpung di dunia kepecintaalaman harus mampu membuktikan bahwa Wanita pun memiliki jiwa yang Tangguh dan pantang menyerah, kuat secara mental dan fisik, serta berani mengambil peran dan tanggung jawab pada bidang tersebut. Dengan demikian, Wanita dapat memperkukuh posisi dan eksistensinya pada bidang kepecintaalaman. Sementara itu, para lelaki harus bisa memberikan ruang dan peluang bagi semua orang, termasuk Wanita untuk belajar dan berkembang pada bidang kepecintaalaman.
Maka dari itu, hal demikian bisa menciptakan suatu sinergitas dan mematahkan gender stereotype yang kerap dilontarkan pada pecinta alam Wanita. Karena sejatinya, alam sebagai manifestasi Tuhan adalah milik siapa saja, tidak hanya lelaki yang dapat menikmatinya melalui kegiatan kepecintaalaman, tetapi juga kaum Wanita yang juga memiliki jiwa dan semangat yang Tangguh.
Mahadewi, Ni Made A. S. (2019). Pecinta Alam Perempuan sebagai Wujud Ekofeminisme. Jurnal Ilmia Widya Sosiopolitika.
Setyani, Alfiyanti. (2020). Gender Stereotyping dalam Dunia Pendakian (Studi tentang Pandangan Pendaki Laki-Laki terhadap Pendaki Perempuan pada Mahasiswa Pecinta Alam di Purwokerto). Skripsi thesis, Universitas Jenderal Soedirman.
0 Comments